bagaimana cara meningkatkan anak supaya berprestasi?

Kamis, 29 April 2010

Kepada Siapakah Akan Engkau Serahkan Puterimu?

Ketika sang putri sudah beranjak dewasa, bertambahnya usia yang putri membuat orang tua gelisah, mereka mengetahui bahwa sang putri sudah waktunya untuk menikah, untuk mendapatkan seorang pendamping hidup yang bisa membuat keluarga bangga, segala keinginan dan kriteria disusun untuk sang calon menantu kelak, tidak jarang mereka mengharapkan akan mendapatkan calon menantu yang kaya, bermobil mewah dan harta yang berlimpah, sehingga bisa membuat orang tua menjadi bangga, minimal bisa dibanggakan (disombongkan) dihadapan kerabat yang lain saat ada pertemuan keluarga.



Ada juga orang tua yang mengharapkan putri mereka mendapatkan calon suami yang memiliki pekerjaan tetap dan berpenghasilan “lumayan”, agar putri mereka kelak mendapatkan nafkah yang cukup dan tidak akan kelaparan, atau juga ada yang mengharapkan calon menantu adalah orang yang memiliki jabatan atau pangkat tertentu, dan masih banyak lagi impian yang disusun rapi serta cara-cara strategis untuk mewujudkannya. Sehingga kerap terjadi bahwa “sang putri” menjadi barang komoditi atau umpan yang empuk untuk menggaet harta berlimpah dan sekedar numpang kecipratan hidup enak dari sang calon menantu.



Kemudian jika datang kepada mereka seorang laki-laki dengan memakai pakaian yang sudah pudar warnanya, dengan kerendahan hati mengajukan pinangan kepada “sang putri”, orang tua akan mengatakan, “Mau diberi makan apa anakku nanti? Coba ngaca dulu sebelum melamar putri saya!” padahal mereka tidak mengetahui bahwa sang pemuda yang sudah pudar warna bajunya adalah seorang penuntut ilmu agama yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala, hartanya boleh sedikit namun bisa jadi dia mulia di hadapan Allah Ta’ala.



Wahai abi... ummi... harta bukan ukuran kebahagiaan, sebagaimana kesederhanaan juga bukan ukuran untuk kesengsaraan... maukah kalian membaca suatu kisah? Yang didalamnya terdapat tauladan yang membuat hatimu terpesona, dan mungkin matamu akan menitikkan air mata, jika di dalam hatimu memang masih ada secuil iman kepada Allah Ta’ala maka simaklah untaian kisah berikut :



Kisah itu terdapat dalam biografi seorang Penghulu Tabi’in dan Tabi’in yang mulia Sa’id bin Musayyib rahimahullah, bahwa Khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan meminang anak Sa’id bin Musayyaib untuk anaknya, Al-Walid (seorang putera mahkota dan calon khalifah berikutnya) ketika itu sang khalifah masih memegang tampuk kekuasaannya. Lalu beliau (Sa’id binMusayyib) menolak lamaran itu.



Abu Wida’ah mengatakan, “Aku selalu bermajelis kepada Sa’id bin Musayyib, lalu aku tidak hadir beberapa hari. Tatkala aku datang, beliau bertanya kepadaku, “Kemana saja engkau kemarin?” Aku menjawab, “Istriku meninggal, lalu aku sibuk dibuatnya (mengurus pemakamannya).” Sa’id bin Musayyib berkata, “Kenapa engkau tidak memberitahu kami sehingga kami dapat menyaksikannya?” Aku pun menjawab, “Sebenarnya aku bermaksud demikian.”



Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau telah menemukan wanita lain penggantinya?” Aku menjawab, “Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada anda, siapa yang berani menikahkanku (dengan putrinya), padahal aku hanya memiliki harta dua atau tiga dirham saja?” Beliau menjawab, “Apabila aku melakukannya (mencarikan seorang istri), apakah engkau mau menerimanya?” Aku menjawab, “Baiklah.” Lalu dia (Sa’id bin Musayyib) memuji Allah dan mengucapkan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Sa’id bin Musayyib menikahkan diriku dengan (mahar) dua dirham atau tiga dirham tersebut.



Abu Wida’ah melanjutkan, “Lalu aku bangkit seraya tidak mengerti apa yang harus aku perbuat karena gembira. Aku pulang ke rumahku, sembari memikirkan dari siapa aku mendapatkan pinjaman. Aku pun melaksanakan shalat Maghrib. Pada saat itu aku dalam keadaan puasa. Ketika aku hendak makan malam setelah berbuka, hanya ada sepotong roti dan minyak. Tiba-tiba pintu diketuk. Aku bertanya, “Siapa itu?” Beliau menjawab, “Sa’id!”



Aku memikirkan orang yang kukenal bernama Sa’id, namun aku hanya menemukan Sa’id bin Musayyib. Namun beliau buta sejak empat puluh tahun yang lalu kecuali (jalan) antara rumah dan masjid saja yang dikenalnya. Aku bangkit dan keluar, rupanya dia adalah Sa’id bin Musayyib, dan aku mengira ia dapat melihat. Aku pun bertanya, “Wahai Abu Muhammad kenapa anda tidak mengutus seseorang saja kepadaku, sehingga aku datang kepadamu?” Beliau menjawab, “Tidak! Engkau lebih berhak untuk diziarahi.”



Aku bertanya, “Apakah yang ingin anda perintahkan kepadaku?” Beliau menjawab, “Aku melihat engkau seorang laki-laki yang melajang. Aku telah menikahkan (putriku denganmu) karena aku melihat engkau tidak suka tidur sendirian pada malam ini. Dan inilah istrimu.” Rupanya dia adalah seorang wanita yang berdiri di belakangnya.



Kemudian beliau mendorong wanita itu ke pintu rumah dan diapun menahan pintu tersebut. Wanita itu terjatuh karena malu, lalu ia mencoba untuk bergantung ke pintu itu, kemudian bangkit masuk ke rumah. Aku bangkit memanggil tetangga, mereka pun berdatangan seraya bertanya, “Ada apa denganmu?” Aku menjawab, “Sa’id bin Musayyib menikahkan diriku dengan puterinya tanpa sebuah tanda apa-apa. Dan sekarang wanita itu ada di dalam rumah. “ lalu mereka pun menemuinya.



Ketika itu ibuku mendapatkan kabar tentang hal itu, lalu beliau datang seraya berkata, “Engkau tidak boleh tidur bersamanya sebelum aku melihat keshalihannya selama tiga hari.” Setelah bersamanya tiga hari barulah dia menggaulinya. Rupanya wanita itu adalah wanita tercantik, yang paling hafal Al-Qur’an, paling banyak ilmu tentang sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang paling tahu tentang hak suami.



Abu Wida’ah melanjutkan, “Lalu aku berdiam selama sebulan dan tidak menemuinya (Sa’id bin Musayyib), dan beliau juga tidak pernah menemuiku. Kemudian aku menemuinya setelah satu bulan berlalu, sementara itu beliau berada dalam halaqahnya. Aku mengucapkan salam kepadanya, maka beliaupun membalas salamku dan beliau tidak berbicara kepadaku sampai semua orang pergi dari masjid dan yang tersisa hanyalah aku. Beliau bertanya, “Bagaimana keadaan orang itu (yakni puterinya)?” Aku menjawab, “Seperti halnya yang dicintai orang yang shiddiq dan selalu dibenci oleh musuh Allah.” Lalu aku pulang ke rumah, sementara itu beliau memberiku dua puluh ribu dirham.”



Tidak ada lagi yang lebih tenang hidupnya melainkan Tabi’in yang mulia itu hingga akhir hidupnya bersama anak Sa’id bin Musayyib tersebut. Sehingga beliau tidak lagi memikirkan keadaan anaknya karena di bawah bimbingan seorang laki-laki yang bertaqwa yang selalu takut kepada Allah, serta mengerti tentang hak istri dan posisinya di samping istrinya tersebut. [Dinukil dari Kitab Min Akhlaqi ‘l-Ulama (123-125)]



Demikianlah sebuah kisah bagaimana seorang Tabi’in yang mulia dan buta lebih memilih seorang menantu penuntut ilmu yang miskin yang hanya memiliki dua atau tiga dirham uang saja namun memiliki keshalihan dan rasa takut yang tinggi kepada Allah Ta’ala, dan beliau menolak lamaran seorang khalifah yang akan menikahkan puteri beliau dengan anaknya seorang calon khalifah Al Walid. Sa’id bin Musayyib lebih mengkhawatirkan kekayaan duniawi akan menjerumuskan puterinya sehingga beliau memilih Abu Wida’ah sebagai menantunya, yang mana beliau telah mengenal baik keutamaan dan keilmuan Abu Wida’ah ini.



Lalu bagaimanakah halnya dengan orang tua di zaman sekarang ini, apakah mereka juga mengkhawatirkan akidah anak-anak mereka setelah pernikahannya, sehingga para orang tua lebih menitik beratkan kebersihan akidah dan kemuliaan akhlak calon menantunya daripada harta kekayaan, jabatan dan kedudukan, kita sering mendengar banyak kisah tentang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) lalu darimanakah asal KDRT itu jika calon suami puteri mereka adalah seorang yang shalih lagi memiliki rasa takut yang tinggi kepada Allah Ta’ala? Ataukah mereka para orang tua akan menyerahkan puteri-puteri mereka dalam bimbingan seorang suami yang jauh dari agama dan tenggelam dalam kehidupan dunia, yang selalu melalaikan shalat mereka dan bersikap kasar terhadap istri?



Keputusan ada di tangan anda wahai para orang tua, perhatikanlah kepada siapa engkau akan menyerahkan puterimu?


Wallahu a’lam bish showab

Imam Nawawi

Imam Nawawi lahir di desa Nawa di daerah khauran sebelah selatan kota Damsyik pada bulan Muharram 131 H. Beliau hidup di kelurga yang sangat menghargai ilmu dien. Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada beliau kecintaan kepada ilmu dan hafalan Al quran. Dengan dukungan ayah beliau, imam nawawi memperoleh kemulian besar dalam kehidupan ilmiah.




Imam Nawawi pindah ke Damsyik, tinggal di madrasah untuk menuntut ilmu. Beliau sangat tekun menuntut ilmu agama, hafal ‘at tanbih’ dalam waktu 4,5 bulan, di bulan sisanya di tahun itu beliau menghafal rab’ul muhadzdzab. Beliau belajar ilmu terus menerus hingga menjadi ulama besar dalam fiqh madzhab Syafi’i, dalam bidang hadits dan bahasa.



Imam Nawawi dikenal sebagai seorang alim rabbani, zuhud dalam dunia, wara’ dan beliau hampir tidak pernah berpaling dari ketaatan, kuat dalam amar ma’ruf nahi munkar, menasehati penguasa, tidak takut celaan orang karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala.



Beliau memiliki kedudukan yang tinggi yang dikenal oleh ulama di jamannya. Berkaitan dengan ini Syaikh ibn farh menyatakan bahwa Imam Nawawi memiliki tiga derajat yang satu derajatnya saja sangat berat dicapai oleh orang lain, yaitu ilmu, zuhud dan amar ma’ruf nahi mungkar.



Wafat beliau

Nawawi meninggal pada tanggal 14 Rajab 176 H di Nawa. Umur Imam Nawawi memang tidak panjang, tidak lebih dari 45 tahun, meskipun demikian usia yang tidak panjang itu penuh barakah. Umur yang tidak panjang itu, beliau habiskan untuk ibadah, ketaatan, mengajar dan menulis.



Karya Imam Nawawi

Beliau mewariskan peninggallan yang berharga dalam beragam ilmu-ilmu agama, yang dapat dibaca oleh para penelaah, dan pembaca. Disaat beliau diberi kekuatan pemahaman dalam memahami nash, ilmu fiqh, ushul fiqh, mustholah, bahasa dan bidang ilmu yang lain. Diantara karangan beliau adalah Minhaj fi syarah shahih Muslim, Taahdzibul asma’ waal lughoh, Minhajuj tholibin, Ad daqoiq, Tashhihul tanbih fi fiqhil asy syafi’iyah, Taqrib wa tahsin fi mushtolah al hadits, Riyadhus shalihin min kalamisayidil mursalin dan tulisan-tulisan lain yang masih banyak.

Kamis, 15 April 2010

Inilah Lelaki Idamanmu…

Ada seorang akhwat yang mengatakan ingin mendapatkan suami yang punya penghasilan yang mapan, gagah, bermata teduh, tegap, tampan, senyumnya menawan, berhidung mancung dan… stop! Ukht, anti mau cari calon suami apa mau audisi bintang sinetron? Seorang pendamping yang ideal tidak bisa dinilai dari segi fisik atau materi saja, walau memang lelaki yang “ganteng” mampu menyejukkan pandangan mata, namun apa artinya kalau mata sejuk namun hati jadi biru lebam, walaupun suami yang kaya raya mampu membelikan segala yang engkau inginkan, tapi mampukah dia membelikan surga buatmu?

Jawabannya adalah “Tidak”! wahai saudariku, bukankah engkau menginginkan kebahagiaan yang tiada akhirnya, bukankah kasih sayang dan kelembutan yang selama ini menjadi impianmu, lelaki ideal memang susah dicari, namun bukan hanya “bentuk ideal” yang mampu membuatmu bahagia dan mengantarkanmu menuju rumah tangga yang sakinah, lelaki ideal memang sebuah harapan, namun kadang sebuah harapan yang terpenuhi tak mampu menghadirkan indahnya bahtera rumah tangga.

Sosok ideal seperti gambaran di atas memang telah menjadi patokan dan syarat di sebagian besar akhwat (kalau mau jujur), selain alasan agar sejuk dilihat dan tidak membosankan pandangan, alasan lain adalah agar tidak memalukan di hadapan umahat yang lain kelak! Duhai kasihan saudaraku para ikhwan yang tidak masuk kriteria ini, dan juga penulis mungkin tidak bisa memenuhi syarat-syarat ini, namun sebuah realita dan kenyataan yang ada di lapangan tetap sebuah fakta.

Kenyataan yang terjadi bahwa para ikhwan juga bukan pelanggan tempat-tempat fitness, seorang ikhwan pernah menyampaikan, “yaa akhi mau olah raga yang paling murah lari pagi dan jalan kaki banyak fitnah pandangan mata, kalau malam memang sepi tapi takut dikira maling atau teroris, atau malah kena paru-paru basah!” Ishbir ya akhi, tidak sampai sebegitunya juga kok, meski artikel ini penulis tujukan buat akhwat yang mau cari suami, buat ikhwan yang sedang mau cari belahan hidup juga bisa dipakai sebagai introspeksi apakah sudah memiliki kriteria berikut ini…

PERTAMA : Dia adalah seorang laki-laki yang taat beragama, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “...Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.” (Al Baqarah : 221)

Diharapkan sekali menjadi syarat nomor wahid untuk calon suami idaman (selain sudah muslim tentunya) adalah seorang laki-laki yang taat dan memiliki rasa takut yang tinggi kepada Allah Ta’ala, karena seorang calon suami seperti ini telah memenuhi syarat menjadi calon pemimpin rumah tangga, dengan ilmu agama yang ia miliki dan bekal keimanan-nya, sangat diharapkan calon suami seperti ini mampu mendidik anak dan istrinya kelak menjadi seorang yang shalih dan shalihah, menjadi hamba-hamba Allah Ta’ala yang taat pula, sehingga keharmonisan dan tersusunnya suatu rumah tangga yang sakinah bisa (insya Allah) diwujudkan.

KEDUA : Dia adalah orang yang hafal atau mengerti sebagian dari Al-Qur’an : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seseorang dengan (mahar) beberapa ayat Al-Qur’an yang ia hafal. [HR. Al-Bukhari (5029), dan Muslim (1425)]

Seorang calon suami yang banyak memiliki hafalan Al-Qur’an merupakan calon pasangan yang ideal bagi seorang wanita yang shalihah, seorang calon pemimpin rumah tangga yang ideal tentunya harus saggup mengajarkan Al-Qur’an kepada keluarganya kelak, menjaga hafalan dan bacaan Al-Qur’an anak dan istrinya, apalagi jika sang calon suami juga memahami tafsir ayat dari hafalan Al-Qur’annya, sehingga bisa menerapkan Al-Qur’an dalam kehidupan rumah tangga kesehariannya.

KETIGA : Dia adalah seorang laki-laki yang mampu memberikan ba-ah (nafkah) dengan kedua macamnya, yaitu kemampuan untuk berjima’, dan kemampuan untuk memberikan pembiayaan nikah juga biaya hidup.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan motivasi kepada para pemuda untuk menikah ketika mereka mampu memenuhi ba-ah, dan beliau juga berkata kepada Fathimah binti Qais : “Adapun Mu’awiyah adalah seorang laki-laki yang fakir.” [HR. Muslim (1480), An-Nasa-i (3245), dan Abu Dawud (2284)]

Walaupun kaya raya bukan merupakan syarat, namun tetap diharapkan seorang ikhwan memiliki pekerjaan yang mampu dia gunakan untuk biaya pernikahannya dan untuk menghidupi anak-istrinya, walaupun tiap tahun menjadi “kontraktor” (tukang kontrak rumah-red), sudah dianggap mampu untuk memulai kehidupan rumah tangga, selain mampu memberikan kebutuhan biologis pada istrinya (bukan laki-laki yang impoten), sangat diharapkan untuk sebuah rumah tangga tidak dimulai dengan kehidupan menumpang orang tua (Pondok Mertua Indah).

KEEMPAT : Dia adalah seorang laki-laki yang lemah lembut kepada wanita : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang Abu Jahm : “Adapun Abu Jahm adalah seorang laki-laki yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), maka nikahilah Usamah.” [HR. Muslim (1480), An-Nasa-i (3245), dan Abu Dawud (2284)]

Hendaklah ada pada diri seorang calon suami sifat lembut dan romantis, karena akan semakin menambah mekarnya bunga-bunga cinta dalam rumah tangga, sehingga seorang wanita bisa benar-benar merasakan ketentraman dalam hidup berumah tangga, seorang calon suami hendaknya seseorang yang mampu tampil bijak dan mampu menahan amarah ketika melihat suatu hal yang tidak mengenakkan hatinya pada istrinya. Seorang calon suami idaman adalah laki-laki yang mampu tampil sebagai pengayom dalam rumah tangganya, juga seorang laki-laki yang pandai menumbuhkan suasana tentram dalam rumah, tidak suka teriak-teriak dan tukang marah, seorang laki-laki yang santun tutur kata dan penuh kasing saying kepada istrinya kelak.

KELIMA : Istrinya senang melihatnya, sehingga di antara keduanya tidak ada kerenggangan dan si wanita tidak ingkar ketika hidup bersamanya. Dalam hal ini memang seorang laki-laki mampu menjaga penampilan dan badannya, sebagaimana seorang ikhwan mengharapkan calon istri yang semampai, begitu juga seorang akhwat ingin mendapatkan seorang calon suami yang memiliki postur ideal (tidak mesti harus tampan seperti bintang sinetron), maksudnya, hendaknya seorang ikhwan tidak membiasakan diri punya perut yang gemuk sehingga tidak enak dipandang, kemudian hendaknya ikhwan menjaga bau tubuhnya agar selalu tampil menyenangkan saat di hadapan istri, potongan rambut juga jangan acak-acakan seenaknya, mengenakan pakaian taqwa dengan baik dan rapi, maka akan menampilkan sosok berwibawa dan sejuk dilihat.

Perkara wajah (tampang) dalam hal ini relatif, tergantung dari pihak calon istri ketika nazhar (melihat calon istri / suami), namun kami nasihatkan kepada ukhti fillah agar tidak hanya melihat ketampanan fisik kemudian melupakan akhlak calon suami, dan ada sebuah tips kecil bagi akhwat yang kurang berkenan ketika nazhar “bahwa cinta bisa mudah tumbuh ketika calon suami memiliki akhlak yang mulia”

KEENAM : Dia adalah seorang laki-laki yang tidak mandul. Hal ini karena adanya riwayat yang menjelaskan tentang keutamaan keturunan kecuali jika ada beberapa faktor pendukung untuk menikah dengannya.

Buah pernikahan adalah dengan hadirnya anak-anak yang bisa menyejukkan pandangan dalam rumah tangga, sangat diharapkan akan muncul benih-benih yang shalih dan shalihah dalam sebuah pernikahan seorang muslim dengan muslimah, namun jika ada kondisi lain yang tidak memungkinkan menjadi pengecualian bagi seorang muslimah yang berbesar hati untuk menikah dengan seorang lelaki yang mandul namun memiliki akhlak yang mulia, namun hendaknya hal ini disampaikan pada saat proses khitbah agar diketahui kekurangan masing-masing pihak dan tidak ada unsur penipuan dalam pernikahan.

KETUJUH : Berasal dari lingkungan yang mulia, Al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari hadits Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia seperti barang tambang emas dan perak. Yang terbaik dari mereka pada masa jahiliyah adalah yang terbaik pula pada masa Islam apabila mereka berilmu.”

Lingkungan kadang berpengaruh besar terhadap akhlak seseorang, maka pilihlah calon suami yang memiliki pergaulan yang syar’i, bukan laki-laki yang suka nongkrong di pinggir jalan atau laki-laki yang gemar berpesta serta suka bergaul dengan sembarang orang, namun carilah seorang calon suami yang gemar menghadiri ta’lim-ta’lim yang mengajarkan Islam yang syar’i dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga dari pergaulan yang mulia ini diharapkan mampu muncul sosok yang bersih dan jauh dari bisikan-bisian maksiyat.

Demikianlah wahai ukhti fillah, termasuk beberapa kriteria seorang lelaki idaman, dan penulis telah banyak bertemu dengan ikhwan-ikhwan yang memenuhi semua criteria di atas, jadi bagi ukhti fillah yang sudah siap menikah tidak susah untuk mendapatkan calon pendamping idaman, banyak ikhwan yang berakhlak mulia siap untuk mendampingimu, (afwan penulis tidak membuka kontak jodoh), namun rumah tangga yang sakinah tidak bisa dibeli dengan harta yang berlimpah atau dengan wajah bak bintang film laga, bisa jadi mereka yang bercelana “cingkrang” walau tidak kebanjiran, atau mereka yang berjenggot tipis walau tidak berhidung mancung seperti orang arab (maklum ras asia), atau juga mereka yang berbaju gamis dan suka menundukkan pandangan saat berjalan di tempat umum (walau kadang sering tidak sengaja nabrak rambu-rambu jalan) adalah calon suami yang engkau cari… Mau?

Para Ulama Ahlul hadist


Biografi para ulama ahlul hadits mulai dari zaman sahabat hingga sekarang yang masyhur :
Sumber: Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama dengan sedikit tambahan.

Rasa Malu, Perhiasan Muslimah! (Bagian 1) Pesan Baru

Suatu malam seorang ikhwan berjalan kaki melintasi trotoar pertokoan, berusaha sebaik mungkin untuk konsentrasi pada jalan agar mata tetap “aman” dan terlindungi dari pandangan pada hal-hal yang haram, serta juga agar tidak nabrak rambu-rambu jalan atau tiang telepon yang terkadang “terasa diletakkan seenaknya”, berjalan dengan menundukkan mata dan sesekali melihat jalan, terkadang kalau tertabrak tiang telepon, paling dalam hati mengguman, “siapa sih yang naruh tiang disitu!”

Ya, kadang suatu perjalanan singkat berjalan kaki menjadi sebuah medan perjuangan yang berat, walau tidak sedang berperang dan angkat senjata, mata dan hati selalu waspada dari serangan mendadak “pandangan haram” yang diumbar dimana-mana, resikonya lebih berat daripada tertembak peluru! Setelah separuh perjalanan dan melewati beberapa toko pakaian, terdengar suara, “Assalamu’alaikum!”, secara refleks ikhwan tadi menjawab, “Walaikumussalam!” namun setelah menoleh ke asal suara penulis ganti beristighfar, ternyata gadis-gadis muda dengan pakaian kurang pantas sedang tertawa cekikikan melihat si ikhwan jadi serba salah!

Apa dunia sudah terbalik? Dahulu setahu penulis saat duduk di bangku sekolah menengah atas, biasanya anak-anak laki-laki (afwan bukan termasuk penulis) ketika pulang sekolah nongkrong dulu di pinggir jalan untuk menggoda anak-anak perempuan, seperti biasa para anak perempuan jinak-jinak merpati ketika di- “suit-suit”, entah antara suka atau “benar-benar suka” diganggu seperti itu, dengan tersipu malu dan senyum mengembang mereka malah mencuri-curi pandang.

Namun yang terjadi beberapa tahun kemudian telah banyak perubahan, apakah karena model pakaian ikhwan yang tidak lazim dipakai orang-orang kebanyakan (bergamis dan bersarung), sehingga membuat ikhwan yang bersangkutan diperlakukan seperti itu, atau memang para gadis-gadis muda sekarang sudah hilang rasa malunya sehingga mereka “take over” kebiasaan yang dilakukan anak-anak muda laki-laki yang jauh dari ilmu agama.

KEMANA PERGINYA RASA MALU?

Dari Atha’ bin Abi Rabbah ia berkata, “Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada kami, “Maukah engkau aku beritahukan tentang profil (sifat) wanita penghuni surga?” Kami menjawab, “Tentu saja kami mau.” Lalu ia berkata, “Wanita berkulit hitam yang pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menuturkan, ‘Aku mengidap penyakit ayan, apabila penyakit itu kambuh, maka auratku akan tersingkap. Berdo’alah untukku kepada Allah!’ Belia bersabda, ‘Jika engkau mau, bersabarlah! Niscaya engkau akan mendapat surga. Namun kalau engkau mau, aku akan memohonkan agar Allah menyembuhkanmu.’ Wanita itu berkata, ‘Aku akan berusaha sabar.’ Wanita itu melanjutkan ucapannya, ‘Namun berdo’alah agar tubuhku tidak tersingkap.’ Lalu beliau pun mendo’akannya. [HR. Al-Bukhari (5652) dalam Al-Mardho bab Fadhlu Man Yushro mina ‘r-Rih]

Inti dari hadits di atas adalah bahwa wanita berkulit hitam tadi berkehendak kuat agar auratnya tidak tersingkap saat dia dalam kondisi tidak sadar, sehingga hal tersebut akan membuatnya malu. Ketika diberikan pilihan antara kesembuhannya dan agar bersabar dengan janji jannah, maka wanita beriman ini memilih untuk bersabar, namun tetap meminta do’a dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar auratnya tidak terlihat manusia.

Duhai kemanakah perginya rasa malu itu sekarang ini, nilai dari keindahan wanita itu terletak pada sifat malunya, semakin tinggi rasa malu itu maka semakin indah wanita tersebut, dan semakin sedikit rasa malunya maka semakin murah nilai wanita itu, bahkan menjadi “murahan”. Para wanita-wanita shalih terdahulu berusaha untuk tetap menuntut ilmu dan tetap meninggikan rasa malunya, namun justru yang kita temui sekarang adalah para wanita muslim semakin jauh dari ilmu agama dan melepas pakaian malunya.

Jika wanita-wanita model seperti ini nanti menikah dan melahirkan anak-anak mereka, lalu akan menjadi apakah generasi muslim kelak? Seseorang yang memiliki sifat malu maka dia akan sauh dari keburukan dan dosa, semakin besar rasa malunya maka akan membuat seseorang semakin aman dari jebakan-jebakan syaithan, mereka tidak akan memamerkan auratnya di depan umum, tidak menggoda laki-laki, tidak akan berzina, tidak akan melihat hal-hal yang haram, dan begitu seterusnya. Diriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :’Sikap malu tidak akan datang kecuali karena kebaikan.’ [HR Al-Bukhari (X/6117), Muslim (37)]

Jika seluruh rasa malu adalah kebaikan maka orang yang tidak memiliki rasa malu adalah orang yang tidak memiliki kebaikan dalam dirinnya, mereka yang tidak memiliki rasa malu akan berbuat sekendak hatinya dan akan mudah bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka akan dengan mudah berbuat zhalim kepada hak-hak manusia dan akan merusak masyarakat muslim secara keseluruhan. Ketika rasa malu sudah hilang dari diri seseorang maka tidak akan tersisa dari seseorang kecuali kerusakan yang akan menjangkiti orang-orang di sekitarnya. Mereka ini akan berbuat sekehendak hatinya tanpa memiliki batasan dan aturan lagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya di antara perkara yang telah dipahami oleh manusia dari perkataan kenabian pertama adalah ‘Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah apa yang kamu suka’.” [HR. Al-Bukhari (7/3483/3484)]

Dalam hadits yang diriwayatkan Anas Radhiyallahu 'Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda, “Tidaklah ada suatu kekejian pada sesuatu perbuatan kecuali akan menjadikannya tercela, dan tidaklah ada suatu rasa malu pada sesuatu perbuatan kecuali akan menghiasinya.” [HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Sifat wanita identik dengan keindahan dan kelembutan, jika wanita tidak menghiasi dirinya dengan sifat malu maka kehormatan wanita telah dicampakkan oleh pemiliknya, tiada lagi yang tersisa pada diri wanita jika rasa malu yang sudah menjadi tabiat dari diri wanita telah dibuang. Anak-anak gadis banyak yang berlalu lalang di jalanan, juga banyak yang suka nongkrong di pinggir jalan hanya agar tidak dibilang kuper (kurang pergaulan) atau ketinggalan zaman.

Maka hendaklah para orang tua untuk mengontrol pergaulan anak gadisnya masing-masing dan selalu mengawasi kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak gadisnya, pergaulan bebas juga berawal dari kurang perhatiannya orang tua akan teman-teman anak-anaknya, padahal orang tua akan dimintai pertanggung jawaban atas amanah yang telah diberikan kepada mereka, selayaknyalah agar para orang tua memperhatikan akhlak dan budi pengerti anak gadisnya.

Orang tua yang membelikan anak gadisnya pakaian ketat dan suka mengumbar aurat sama saja mereka mendorong anak gadis mereka masuk neraka dengan kedua tangan mereka sendiri, bagaimana tidak? Para orang tua yang sudah bersusah payah bekerja untuk mendapatkan uang kemudian dengan uang itu mereka membelikan anak gadis mereka sebuah pakaian calon penghuni neraka, yaitu mereka yang berpakaian laksana telanjang!

Selain sufur (terbukanya aurat) tanpa rasa malu, kadang dibarengi juga dengan ikhtilat (campur baur) nya antara laki-laki dan perempuan yang suka nongkrong, entah itu di pinggir jalan, cafe-cafe, mall, dan tempat-tempat “ngumpul” lain yang kadang diselingi dengan musik dan minuman keras, para penyeru kegiatan ini selalu mengaburkan perkara yang penting ini menjadi hal yang sepele, sering ketika ada teguran mereka hanya mengomentarinya dengan perkataan, “masa yang begitu saja dilarang... cape deh!”

bersambung...

SIKAP MALU TANDA KEIMANAN

Sikap malu adalah sebuah bagian tak terpisahkan dari keimanan seseorang, iman dan malu akan selalu berjalan beriringan, semakin besar rasa malu seseorang maka akan semakin bertambah pula keimanannya, dan derajat tertinggi dari rasa malu adalah malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena dengan membawa rasa malu itu ia akan selalu merasa di awasi Allah Ta’ala dan akan selalu memperhitungkan segala hal perbuatan yang ia lakukan, sebaliknya jika rasa malu itu semakin berkurang maka akan semakin kurang juga keimanannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Keimanan ada tujuh puluh tujuh atau enam puluh tujuh cabang, keimanan yang paling utama adalah mengucapkan “Laa Ilaaha Illallaah”, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan. Sedangkan sikap malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” [Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Al-Bukhari (I/9) dengan lafadz “67 cabang”. Imam Muslim (I/35) dengan lafadz “77 cabang”.]

Dalam hadits shahih di atas disebutkan sifat malu adalah salah satu cabang keimanan tanpa disebutkan cabang yang lainnya, hal ini menunjukkan akan pentingnya sifat malu, selain itu dengan adanya sifat malu akan semakin mendorong pemiliknya untuk mencapai cabang keimanan yang lainnya, sedang dengan hilangnya rasa malu maka akan rusak cabang-cabang keimanan yang lainnya.

Sifat malu adalah sifat yang dimiliki oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang lebih besar rasa malunya daripada perawan yang berada dalam pingitan. Jika beliau melihat sesuatu yang dia benci, kami bisa mengetahuinya dari rona wajahnya.” [HR Al-Bukhari (VI/3562-10/6102), Muslim (2330)]

Perhatikanlah wahai saudariku, bukankah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat pemalu, bahkan beliau lebih pemalu dari gadis yang dipingit? namun apa yang kita dapati pada anak-anak gadis zaman sekarang ini, mereka malah menyerang seorang ikhwan (kalau tidak bisa dibilang melecehkan) dengan godaan-godaan yang merayu, tawa genit dan kerlingan mata.. seharusnya ada dibentuk KOMNAS IKHWAN, untuk melindungi ikhwan dari pelecehan-pelecehan model seperti ini.

Rasa malu yang dimaksud adalah rasa malu yang diupayakan dengan pemahaman yang baik akan ilmu yang sesuai syar’i, Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Malu yang diupayakan inilah yang oleh Allah jadikan bagian dari keimanan. Malu jenis inilah yang dituntut, bukan malu karena watak atau tabiat. Jika seorang hamba dicabut rasa malunya, baik malu karena tabiat atau yang diupayakan, maka dia sudah tidak lagi memiliki pencegah yang dapat menyelamatkannya dari perbuatan jelek dan maksiat, sehingga jadilah dia setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dalam wujud manusia.”

SIKAP MALU YANG TERCELA

Namun disamping itu semua ada juga sifat malu yang tercela, yang membuat pemiliknya semakin jauh dari kebaikan, yaitu sifat malu yang menjadikan pemiliknya sering mengabaikan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mereka pemilik sifat malu ini malah beribadah kepada Allah Ta’ala dengan kejahilan dan bid’ah, mereka malu untuk mendatangi majelis-majelis ta’lim yang syar’i, malu mengenakan pakaian taqwa yang justru mereka anggap nyeleneh atau malu kalau mengenakan gamis yang tebal dan cadar dibilang “istrinya teroris”, lebih dari itu mereka malu untuk mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan lebih cenderung untuk liberal!

Padahal telah ada contoh yang mulia dari shahabiah yang mulia Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia berkata.'Ummu Sulaim pernah datang kepada Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam seraya berkata. 'Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak merasa malu dari kebenaran. Lalu apakah seorang wanita itu harus mandi jika dia bermimpi ?. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.'Jika dia melihat air (mani)'. Lalu Ummu Salamah menutup wajahnya, dan berkata.'Wahai Rasulullah, apakah wanita itu juga bisa bermimpi?' Beliau menjawab.'Ya, bisa'. Maka sesuatu yang menyerupai dirinya adalah anaknya". [Hadits shahih, ditakhrij Ahmad 6/306, Al-Bukhari 1/44, Muslim 3/223, At-Tirmidzi, hadits nomor 122, An-Nasa'i 1/114, Ibnu Majah hadits nomor 600, Ad-Darimi 1/195, Al-Baihaqi 1/168-169]

Maka pahamilah konsep malu yang syar’i sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga perbaikan tatanan masyarakat yang Islami akan terwujud, tidka cukup hanya slogan-slogan belaka, bukankah sudah terlalu banyak kerusakan yang muncul dari sebab hilangnya rasa malu ini wahai saudariku? Bertaqwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pakailah pakaian malu pada dirimu, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu.